CENTRALNESIA – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 memang berpotensi memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, terutama dalam konteks pertumbuhan ekonomi inklusif. PPN, sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara, bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara yang bisa digunakan untuk mendanai berbagai program pembangunan. Namun, kebijakan ini juga memunculkan perdebatan terkait dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok yang lebih rentan secara ekonomi.
Dampak terhadap Konsumsi dan Produksi
Kenaikan tarif PPN dapat meningkatkan harga barang dan jasa, yang pada gilirannya dapat menurunkan konsumsi masyarakat, terutama bagi rumah tangga dengan pendapatan rendah. Rumah tangga miskin cenderung lebih banyak menghabiskan pendapatan mereka untuk barang dan jasa yang dikenakan PPN, seperti pangan, energi, dan transportasi. Sebuah studi oleh Zodrow dan Mieszkowski (2001) menunjukkan bahwa pajak konsumsi seperti PPN bisa lebih membebani rumah tangga berpendapatan rendah, memperburuk ketimpangan ekonomi.
Namun, ada argumen yang menyatakan bahwa peningkatan tarif PPN dapat mendongkrak daya saing sektor produksi domestik. Salah satunya adalah dengan menurunkan tarif PPN pada barang ekspor, yang dapat mendorong pertumbuhan sektor manufaktur. Jika pemerintah memanfaatkan hasil penerimaan PPN untuk mendanai program yang meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor-sektor tertentu, sektor-sektor seperti manufaktur bisa merasakan manfaat berupa peningkatan kapasitas dan daya saing.
Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Inklusif
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi inklusif, pemerintah perlu memastikan bahwa hasil dari kenaikan PPN digunakan untuk program-program sosial yang langsung bermanfaat bagi kelompok masyarakat miskin. Misalnya, dana yang diperoleh dari PPN dapat dialokasikan untuk subsidi pangan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Program-program ini akan membantu meringankan beban masyarakat miskin dan memastikan bahwa kenaikan PPN tidak semakin memperburuk ketimpangan sosial.
Selain itu, kebijakan pengelolaan hasil PPN yang efisien juga penting. Dalam hal ini, pemerintah perlu memastikan tidak ada kebocoran anggaran, dan dana yang diperoleh benar-benar digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan investasi dalam infrastruktur, terutama di daerah yang kurang berkembang, bisa membuka peluang kerja baru dan memperbaiki akses masyarakat terhadap layanan publik.
Pajak Progresif dan Kebijakan Sosial
Pemerintah juga dapat mempertimbangkan penerapan pajak progresif, yang lebih membebani kelompok berpendapatan tinggi. Dengan cara ini, beban pajak tidak sepenuhnya ditanggung oleh masyarakat miskin, sehingga mereka tetap mendapatkan perlindungan dari dampak kenaikan PPN.
Kesimpulan
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen memang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat, terutama bagi rumah tangga miskin, dan memperburuk ketimpangan sosial. Namun, jika pemerintah menggunakan hasil dari pajak ini untuk mendanai program-program sosial yang tepat sasaran, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, maka kebijakan ini dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dalam jangka panjang. Pendekatan yang adil dan efisien dalam pelaksanaan kebijakan ini sangat penting agar tujuan pembangunan ekonomi yang merata dapat tercapai.
More Stories
OCBC dan Tokocrypto Hadirkan Solusi Inovatif untuk Optimalkan Potensi Besar Aset Kripto di Indonesia
OJK Panggil Anak Perusahaan KoinWorks Akibat Gagal Bayar
137 Bank Ditutup, Faktor-Faktor yang Membuat BPR di Indonesia Rentan Bangkrut