
CENTRALNESIA – Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) kembali mengingatkan pemerintah tentang dampak pengetatan terhadap industri hasil tembakau (IHT), baik dari sisi cukai maupun regulasi yang membatasi penjualan. Ketua Umum Gaprindo, Benny Wachjudi, mengungkapkan bahwa industri semakin tertekan sejak pemerintah menerapkan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 23% pada masa pandemi. Kenaikan tarif CHT ini berlanjut selama dua tahun terakhir, masing-masing sebesar 10%, yang menyebabkan industri semakin menderita.
Benny menjelaskan dalam acara Bisnis Indonesia Forum: Peran Industri Tembakau Nasional Terhadap Pencapaian PDB pada Kamis (5/12/2024) bahwa kebijakan fiskal yang semakin ketat, termasuk regulasi cukai, justru mendorong berkembangnya pasar rokok ilegal. “Industri hasil tembakau sudah berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) nonmigas, yakni sebesar 4,22% pada 2023, meski kontribusinya menurun dibandingkan dengan 2018 yang mencapai 5,05%,” ujarnya.
Dari sektor cukai, industri ini telah memberikan kontribusi sebesar Rp213 triliun untuk penerimaan negara, angka yang jauh lebih besar daripada dividen yang diterima dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selain itu, industri juga menghadapi aturan yang semakin ketat, seperti pembatasan tempat merokok dan larangan iklan di media massa, termasuk online dan televisi, yang dimulai dengan diterbitkannya PP 109/2012.
Namun, tantangan baru muncul dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024 yang merupakan pelaksanaan dari UU 17/2023 tentang Kesehatan. Aturan ini memperluas pembatasan, termasuk menaikkan batas usia perokok dari 18 tahun menjadi 21 tahun, serta larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari fasilitas pendidikan. Menurut Benny, kebijakan ini akan mempengaruhi banyak usaha kecil, seperti warung, yang selama ini menjual rokok.
Ia juga mencatat penurunan signifikan dalam volume penjualan rokok setelah pandemi. Sebelum Covid-19, penjualan rokok mencapai 355 miliar batang per tahun, namun pada 2023 jumlahnya menurun menjadi 318 miliar batang. Alih-alih menurunkan prevalensi konsumsi rokok di kalangan anak di bawah umur, kebijakan-kebijakan baru ini justru memperburuk masalah dengan semakin meluasnya pasar rokok ilegal yang menggerus daya saing industri resmi.
Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan-kebijakan yang bisa berpotensi merugikan industri hasil tembakau yang telah memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi negara.
More Stories
BNI Targetkan Pembiayaan Berkelanjutan Rp199,67 Triliun pada 2024 untuk Dukung Ekonomi Hijau
BPK Berkomitmen Periksa Laporan Keuangan WMU Tahun 2024 Sesuai Standar Internasional
Stok Beras Bulog Cabang Rejang Lebong Cukupi Kebutuhan Hingga Empat Bulan Ke Depan